Post Date:
MALANG – Bekerjasama dengan KONEKSI (Collaboration for Knowledge, Innovation, and Technology Australia and Indonesia) dan AIDRAN (Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network) serta Fakultas Hukum Australian Catholic University (ACU), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar seminar internasional dan juga penelitian bersama dengan tema “Membangun Ketahanan dan Mengatasi Dampak Perubahan Iklim melalui Kerangka Restorative Justice”, Rabu (11/9/2024), di Auditorium FH UB.
Dekan FH UB, Aan Eko Widiarto, mengatakan, konferensi ini bertujuan untuk mendiseminasikan hasil penelitian yang mengeksplorasi penggunaan prinsip-prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Aan juga menyampaikan kegiatan seminar internasional kali ini merupakan salah satu implementasi kerjasama G2G (Government to government) antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia dimana pemerintah Australia melalui Kementerian Luar Negeri dan perdagangannya sementara pemerintah Indonesia melalui tiga lembaga dari Bappenas, BRIN dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Dalam rangka menghadapi pemanasan global itu kami mengambil tema restorative justice. Kita mengembangkan keadilan restorasi, yang disitu keadilannya kita titik beratkan pada 3 hal. Pertama adalah perempuan, kedua Disabilitas, ketiga masyarakat adat,” ucapnya.
Sehingga melalui kegiatan yang didukung oleh Pemerintah Australia melalui KONEKSI ini, tiga kelompok tersebut bisa mendapatkan keadilan akibat dampak perubahan iklim ini.
“Misalnya, bagi kelompok disabilitas, akses mereka dengan adanya pemanasan global ini semakin terbatas. Sehingga dalam Musrenbang, seharusnya mereka didengar agar aksesnya lebih baik lagi untuk memberikan keadilan bagi mereka,” imbuh Aan.
Dia mengambil contoh, akibat pemanasan global, para penyandang disabilitas mempunyai resiko lebih tinggi apabila beraktivitas di luar ruangan. Sehingga keluhan dan masukan mereka harus didengar oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan.
“Kalau tidak bisa masuk ke Musrenbang, tidak akan pernah dipikirkan oleh negara. Begitu pula perempuan dan masyarakat adat. Khusus di Jawa Timur kita ambil tengger, ternyata banyak sekali akibat pemanasan global ini dampaknya bagi masyarakat adat, khususnya aspek pertaniannya,” tuturnya.
Sehingga melalui konferensi internasional ini, pihaknya ingin beberapa keadilan restoratif, khususnya bagi golongan disabilitas, perempuan, dan masyarakat adat ini bisa diwujudkan di masa mendatang.
Kemudian Founder dan Presiden AIDRAN yakni Dr. Dina Afrianty memberikan respon positif dan apresiasi atas pelaksanaan kerjasama dan kegiatan bersama antara FH UB, ACU, KONEKSI dan juga AIDRAN dimana melalui kerjasama dan kegiatan bersama tersebut maka AIDRAn juga dapat ikut mendiseminasi dan membuat isu disabilitas menjadi lebih mainstream bukan saja di dalam riset ya tetapi misalnya dosen-dosen pengajar seluruh mata kuliah hukum di segala aspek harus bicara tentang hak asasi manusia termasuk tentang hak penyandang disabilitas untuk diperlakukan sama, dihormati dan dan juga diberikan akses yang sama.
“Kami juga mengajak teman-teman disabilitas untuk hadir dimana mereka tidak hanya sekadar menjadi narasumber semata melainkan harus menjadi bagian dan turut menilai hasil penelitian yang kita lakukan karena bisa saja kami salah dalam menangkap apa yang mereka sampaikan dalam penelitian dan lain sebagainya. Hal itu penting karena hasil dari penelitian itu nantinya akan kita gunakan untuk mencoba mempengaruhi keputusan atau kebijakan pemerintah yang terkait dengan penyandang disabilitas,” ungkap Dina.
Keterkaitan penyandang disabilitas dengan perubahan iklim menurut Dina sangatlah ada hubungan yang erat sekali, dimana para penyandang disabilitas tersebut dinilai sangat kesulitan mendapatkan akses terkait informasi tentang perubahan iklim akibat keterbatasan akses mereka.
Di tempat yang sama, Rektor UB, Prof. Widodo, mendukung dan mengapresiasi gelaran ini. Menurutnya, forum ini mempertemukan berbagai penelitian yang berhubungan langsung dengan komunitas.
“Reseacrh yang langsung berhubungan dengan komuniti akan memberikan impact. Harapanya data yang terkumpul menjadi kebijakan. Saya minta pak dekan data yang ada bisa tersanpaikan kepada pemegang kebijakan tertinggi, yakni Presiden,” tutur Rektor.
Dia juga menegaskan, konferensi ini sejalan dengan visi dan misi UB untuk menjadi kampus yanh inklusif. “Sangat sejalan dengan visi dan misi kita sebagai kampus yang terbuka, inklusif, memiliki global mind set. Kita itu eksis dan memiliki kontribusi terhadap peradaban global,” pungkasnya. (rma/Humas FH)